Namanya Juga Ngaji, Capek itu Sangat Wajar!
Malam Jumat kemarin, saya menyempatkan ikut acara pengajian dan sholawat dalam rangka pembukaan rutinan ngaji di awal tahun ini, setelah big event kemarin dulu itu. Sebenarnya sudah cukup mengantuk ditambah cuaca yang sangat cocok untuk menyatu dengan selimut. Namun saya terjang rasa itu dan sampai juga di masjid Nurul Iman.
Sebenarnya
bukan tanpa sebab saya datang ke sana. Di waktu yang sudah sangat rentan untuk
mencukupkan, namun saya paksa diri saya untuk tetap ikut. Di sisi lain, saya
ingin merangkum kajian yang disampaikan oleh pembicara, walaupun sudah bisa ketebak juga si. Namanya juga
terorganisir, ngga ada acara yang sampai di puncak dengan cepat. Perlu melawati
rangkaian demi rangkaian. Dasar saya sudah loyo, sesampainya di puncaknya saya
sudah tidak kuasa buat mencatat kecil-kecilan. Padahal saya sudah menyengajakan
menyelipkan selembar kertas dan bolpoint di saku. Dengan sangat terkantuk-kantuk
saya mengaktifkan pendengaran dan mengurangi intensitas penglihatan, meski hasilnya nihil.
Sebab
demikian, tidak ada memori yang cukup untuk menyimpan dengan baik, entah saya benar ingat atau pura-pura ingat. Saya kurang berani untuk meng-klaim dari hasil saya memasang kuping, lebih banyak modifikasi dari opini saya (mungkin).
Berbicara
mengaji, mencari ilmu, sudah barang yang tidak langka di masyarakat kita, Jawa.
Berbagai jenis lembaga baik milik pemerintah maupun yayasan tidak sulit
ditemukan dengan berbagai tawaran benefide dan feedback yang
cukup menggiurkan. Namun meskipun pilihan itu beraneka macam, kurang lebih hal
yang perlu dilalui hampir sama. Capek.
Iya, mana
ada ngaji, mencari ilmu itu ngga capek. Mulai dari hal kecil yang selalu
diulang-ulang, kekeliruan, validasi dan pembenaran, serta tetek bengek lainnya
membuat fisik dan mental capek. Semua capek. Apalagi jika dilihat secara
dhohir, mencari ilmu ngga terlihat wujud fisiknya. Kitab banyak, bekas bolpoint
yang sudah kehabisan tinta, dan lain-lain bukan merupakan hasil dari mencari
ilmu, ngaji. Bukan itu hasilnya. Coba refleksi diri kita masing-masing. Apa
ilmu yang melekat dalam diri. Saya masih ingat, di dalam buku sastra kalo ngga
keliru, beliau Cak Rusdi Mathari, dikatakan bahwa, “Ilmu adalah hal yang bisa dibawa ke
kamar mandi”. Tersiratnya, menurut hemat saya yakni sesuatu yang berasal
dari buah pikiran, gagasan, ucapan, tingkah laku, gestur, dan adab. Bukan wujud
kitab yang menggunung.
Maka dari
itu, jelas capek kalo sedang membentuk perilaku. Wajar. Kurang pantas jika
saling menomorsatukan tingkat kecapekannya. Semua memiliki porsi yang sama.
Hanya mau mengungkapkan atau diredam oleh diri. Analogikan hasil yang sudah
disebutkan di atas itu adalah puncak gunung. Untuk mencapainya dari bawah pasti
akan melewati medan yang tidak selalu mudah bahkan tidak terduga. Lelah,
menggeh-menggeh, loyo, ingin menyerah, dikepung cuaca tidak menentu, lingkungan
kurang mendukung dan sebagainya pasti ada di balik keindahan yang biasa
dipamerkan di sosial media. Jarang yang membagikan bagaimana melewati lumpur,
tanah berpasir, tanjakan yang hampir 900 ditambah dengan akar yang
melintang sana sini. Capek itu wajar.
Sama
kayak ngaji. Kalo lihat di postingan sosial media yang dilihatkan prosesi
wisuda, syukuran, jalan-jalan ziarah, sinematic yang apik, tapi jarang yang
memperlihatkan betapa capeknya proses yang perlu dilalui. Sekonten-kontennya,
kalo capek ya capek. Ngaji perlu paksaan. Memaksa diri untuk mengusir rasa
malas, ngantuk, ndablek. Cukup berat, tapi perlu diusahakan untuk memperoleh
hasil di atas. Kalo capek istirahat secukupnya, bukan selamanya.
Terbentur,
terbentur, terbentur, terbentur, dan nanti akan terbentuk setelah remuk. Mungkin
gambarannya gitu. Ada yang perlu dikesampingkan untuk mencapai tujuan itu.
Ngaji harus bisa menahan jarak dengan keluarga, teman, dan kesenangan lainnya.
Mengurangi porsi kebahagiaan untuk kebahagiaan yang lebih panjang perlu jadi
pertimbangan. Lagipula, sangat mungkin kebahagiaan itu berasal dari tempat
mencari ilmu.
Nikmati,
resapi, singkirkan perspektif negative. Sekarang sedang masanya ditempa. Tempa
dengan seikhlas mungkin untuk mencapai hasil seideal mungkin. Jangan mudah
terkecoh dengan istilah, “Adab di atas ilmu” untuk mengurangi intensitas
mencari ilmu. Beradab saja tanpa ilmu berpotensi besar untuk dibodohi. Beradab
dan berilmu harus selalu diusahakan agar tidak hanya jadi kroco yang seenaknya
disuruh sana sini dengan dalih adab. Waspada dengan kerasnya realita di dunia
luar. Lebih baik sekarang capek menanggung beratnya mencari ilmu daripada
dibodohi karena kurang ilmu bukan? Silakan pilih sendiri cara hidup ideal
masing-masing. Ilmu memang sepenting itu biar ngga dibodohi dan membodohi.
Sebab ilmu bisa mengangkangi kebodohan dan kepintaran lainnya.
Tabik
Post a Comment for "Namanya Juga Ngaji, Capek itu Sangat Wajar!"
Post a Comment