Menjadi Milenial Tanpa Melunturkan Rasa Penghambaan
sumber : doc pribadi |
Judul Buku :
Seni Merayu Tuhan
Penulis :
Husein Ja’far Al-Hadar
Penerbit :
Mizan
Cetakan :
ketiga, April 2022
Tebal :
228
ISBN :
978 602 441 255 5
Menjadi muslim di negara Islam terbesar di dunia menjadi privilege
tersendiri bagi muslim di Indonesia. Yang mana untuk mencari saudara seiman
sangat mudah dan tidak perlu mengeluarkan energi yang berlebihan. Masjid
bertebaran di mana-mana dan kajian disuguhkan secara gamblang. Vibes-vibes
islami pun tidak sulit ditemukan di Indonesia.
Dengan privilege itu, kondisi masyarakat yang ada pun seharusnya
mencerminkan agama mayoritas tersebut. Sayangnya hal ini belum berlaku secara
menyeluruh di Indonesia. Padahal dalam agama apapun memberi tuntunan dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari baik hablun min allah maupun hablun
min an-naas. Seluruh agama mengajarkan kasih dan sayang kepada sesama
sebagai salah satu wujud penghambaan kepada Tuhannya.
Penghambaan tersebut menjadi level tertinggi dalam merayu Tuhan.
Sebagai makluk, dengan Tuhan sudah selayaknya merayu bukan sebaliknya. Sebab
Tuhan tidak membutuhkan makhluk-Nya namun sebaliknya. Sebagai agama mayoritas,
Islam di Indonesia memiliki keragaman dalam merayu Tuhannya. Hingga Habib
Husein Ja’far Al-Hadar yang subjek dakwahnya yaitu generasi milenial
merangkumnya dalam sebuah buku yang diterbitkan di tahun 2022.
Dikemas dalam bentuk esai yang ringan dan tidak menuntut kebenaran,
buku ini membawa pembaca untuk menyelami hal-hal yang memang sudah ada di kehidupan
kita dengan sisi yang kadang terlewat oleh masyarakat awam. Gaya bahasa yang
digunakan ramah milenial dan sangat mudah untuk dipahami. Hingga seolah kita
tenggelam dalam ilusi yang diciptakan buku ini laiknya sedang nongkrong dengan
Habib Ja’far. Buku ini tersusun dari 4 bab yang terdiri dari beberapa subbab
sebagai berikut.
Beragama dengan cinta, hal yang
sudah pasti digaungkan oleh seluruh agama untuk menyatukan umatnya disajikan di
awal buku ini. Dengan cinta, praktiknya dengan merayu, bukannya mendikte Tuhan.
Hal ini dapat direpresentasikan pada ibadah yang tidak hanya sebatas ritual
namun dilakukan secara batin. Ibadah dilakukan dengan tulus layaknya kita
merayu kekasih. Senyum juga menjadi representasi cinta. Islam mengajarkan kita
untuk tersenyum kepada sesama. Bahkan senyum juga menjadi salah satu metode
dakwah yang cukup manjur. Setelah kita melakukan ritual kita boleh berharap
kepada Tuhan, namun harus diimbangi dengan rasa takut kepada Allah. Rasa takut
menjadi penting karena ia dapat mengontrol nafsu. Sebab nafsu itu seperti anak
kecil yang jika dibiarkan maka akan menjadi remaja yang suka menyusu dan jika
disapih maka ia akan berhenti. Dan yang paling penting rayu Tuhan dengan
setinggi-tingginya dan rendahkan diri serendah-rendahnya serta gunakan bahasa
yang lembut karena Tuhan menyukai kelembutan. Setelahnya gandeng diri ini
dengan kekasih-Nya, Nabi Muhammad SAW baik tingkahnya, rupa, maupun hatinya.
Beragama dengan keberagaman. Dengan
beragamnya kondisi sosial, ekonomi serta budaya yang ada di Indonesia, dakwah
harus bisa merangkul semua kelas sosial masyarakat. Dakwah model ini cocok
untuk generasi milenial yang sangat sensitive dengan perbedaan. Maka jalan
terbaik yang digunakan yaitu dengan merangkul dan menyatukan mereka. Seperti
yang dilakukan Nabi terhadap Salman dan Bilal, menyatukannya sekaligus dalam
satu rengkuhan. Meskipun demikian, benci tidaklah dilarang di sini. Asalkan
syarat dan ketentuannya berlaku. Salah satunya tidak merusak kebahagiaan orang
lain. Hal ini dengan visi misi mempersatukan atau mempersaudarakan yang menjadi
visi misi manusia di bumi ini.
Beragama dengan akhlak. Akhlak
menjadi hal yang penting bagi umat manusia dengan siapapun itu. Hal ini pula
yang ditekankan dalam agama. Berakhlak dengan baik, baik dalam mengajak atau
menolak bukan dengan mengejek. Dari sinilah muncullah turunan-turunan dari
akhlak. Dalam beribadah tidak perlu lebay dan yang terpenting rendah hati.
Lakukan yang sedang-sedang saja sebab Allah tidak suka yang berlebihan. Ibadah
atau ritual itu penting tapi sosial juga perlu, jadi keduanya harus seimbang
dan saleh keduanya. Hal ini disebabkan agama tidak hanya memerintahkan hablun
min Allah tapi juga hablun min an-naas. Jadi stay calm dan jangan terlalu
mementingkan ego. Dari hablun min an-naas, kita diperintahkan untuk mengajak
saudara untuk melanggengkan kebajikan. Namun sebelum jauh ke sana, dakwah itu
dimulai dari diri sendiri. apa yang ingin digemakan harus sudah tertanam matang
dulu di diri kita. Sehingga dengan itu kita tidak memaksa saudara kita untuk
melakukan ini itu namun bebas dengan ajakan yang kita berikan. Sebab Allah pula
yang menyuruh kita untuk merdeka. Merdeka dari apapun dan hanya boleh menghamba
pada Allah semata.
Beragama dengan tulus. Islam tidak
pernah memaksa umatnya, semampunya saja. Seperti dalam shalat dilakukan dengan
berdiri bagi yang mampu. Tidak ada paksaan. Seperti itulah Islam. Hukum yang
ada menyesuaikan dengan kondisi setiap individu. Tulus, sesuai dengan kemampuan
dan kekuatannya, yang penting konsisten. Islam sebagai agama samawi terakhir
juga melatih konsisten serta disiplin waktu dengan shalat. Di mana dalam sehari
dibagi menjadi 5 waktu tidak dijadikan dalam satu waktu. Salah satu alasannya
yaitu untuk mendisiplinkan umatnya. Betapa Agungnya Allah sudah merancang sedemikian
rupa sebelum manusia mampu berpikir sampai ke arah sana. Dalam Islam pula,
Allah menunjukkan bahwa setiap diri kita itu orang besar tanpa memandang
pangkat dan derajat di dunia. Sebab apapun yang kita perbuat akan dimintai
pertanggung jawaban kelak tanpa memandang statusnya di dunia.
Itulah beberapa hal yang dapat diulas dari buku karya Habib Husein
Ja’far Al-Hadar di tahun 2022 ini. Pastinya masih banyak hal yang bisa digali
dari buku terbitan mizan ini untuk meng-up grade dalam merayu Tuhan. Hayuk,
buang rasa penasaran kalian dengan membaca buku tersebut.
Post a Comment for "Menjadi Milenial Tanpa Melunturkan Rasa Penghambaan"
Post a Comment