Mengulas Fenomena Keagamaan di Era Sekarang - Bukan Perawan Maria
pict by : mediakom.kemkes.go.id |
Islam
merupakan agama yang rahmatan lil alamin, yang seharusnya bisa dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat di manapun tempatnya. Tidak hanya di masjid,
pesantren, majlis ta’lim, namun di seluruh tempat yang tidak diharamkan oleh
Tuhan untuk mengenal Islam. Tidak hanya kaum berpeci, berjubah, bergamis, dan
bersarung, namun di seluruh elemen masyarakat serta lapisan starta sosial.
Hal
tersebut menjadi salah satu pemicu ketidakmerataan Islam di seluruh lapisan
masyarakat. Di sisi lain, sebagian masyarakat enggan mengikuti kegiatan
keagamaan karena merasa tidak pernah mengikuti dan canggung untuk memulai. Hal
ini tak bisa dipungkiri pula melihat realitas di lapangan.
Namun,
tak perlu khawatir akan hal itu. Kini Islam tidak memiliki akses yang tidak
mudah. Melalui berbagai latar belakang, Islam menjelma dalam berbagai bentuk.
Salah satunya cerita pendek.
Cerita
pendek merupakan sebuah cerita yang dapat dihabiskan atau dibaca dalam sekali
duduk. Durasi yang tidak lama membuat siapa saja bisa menikmati cerpen tanpa
harus memiliki keinginan membaca yang begitu besar. Alhasil semua kalangan
dapat menikmatinya. Alurnya yang tidak memiliki banyak konflik menjadikan
cerpen mudah dipahami dan ditangkap maksud serta nilai yang ada di dalamnya.
Dalam hal
ini Feby Indirani dalam kumpulan cerpennya yang berjudul “Bukan Perawan Maria”
menyajikan isu-isu atau ajaran-ajaran yang disalahartikan di masyarakat dengan
gaya tersendiri. Dalam buku ini, pembaca tidak terasa sedang diajak berbincang
terkait Islam yang ada di masyarakat dengan gaya yang asik tanpa meninggalkan
humor di dalamnya, mengingat humor lebih mudah mengena di hati masyarakat saat
ini.
Melalui
19 cerpen, Febi Indirani menggiring imajinasi pembaca untuk tenggelam dalam
suatu isu yang ada dalam masyarakat dengan mulus. Dengan ide yang menggelitik,
Febi Indirani membawa pembaca tenggelam dalam suatu isu serta menduga-duga apa
yang sebenarnya akan terjadi setelahnya. Ending yang tidak mengecewakan mendorong
respon pembaca untuk membuka satu demi satu halaman dalam buku ini.
Gagasan
yang jarang diangkat dapat ditelusuri dalam kumpulan cerpen ini. Di antaranya
yaitu:
Pertama, perihal
toa atau pengeras suara masjid yang menjadi perdebatan tanpa ujung diangkat di
sini. Seseorang yang merasa terganggu dengan toa masjid mencari cara dan celah
untuk membunuh sang muazin namun tak kunjung berhasil. Sampai akhirnya toa itu
tak berbunyi lagi dan terdengarlah dari sana, sang muazin dikabarkan telah
meninggal. Saking gembiranya ia segera bergegas ke kamar mandi dan terpeleset
lantai yang licin. Ia menyadari bahwa terlambat membersihkan kamar mandinya
itu. Dari sini, terdapat nilai yang sering kita lupakan yaitu jangan terlalu
memikirkan hal yang bukan kuasa kita sampai-sampai apa yang menjadi kewajiban
atau tugas kita terabaikan sehingga mencelakakan diri sendiri.
Kedua, kita
digiring untuk menyadari bahwa apa yang menjadi bekal kita di alam kubur bukan
sekedar bahasa Arab, atau kisi-kisi pertanyaan kubur dalam judul “Pertanyaan
Malaikat”. Namun ada yang lebih urgen dari sekadar menghapalkan jawaban
pertanyaan malaikat yang sering dibocorkan melalui pengajian umum. Salah
satunya yaitu selalu memperbaiki perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, dalam
judul “Cemburu Pada Bidadari”, Feby menggiring imajinasi pembaca dalam isu yang
mana tak jarang kita diiming-imingi keindahan dan ketidakterbatasan di surga
sampai-sampai apa yang kita miliki di dunia terabaikan dengan terbawa pada
analogi nikmat yang tiada tara di surga. Padahal hal tersebut belum pernah
dirasakan oleh masyarakat umum. Dan yang mereka ceritakan merupakan gambaran
atau analogi yang disajikan dalam al-Quran dan hadits. Bukan untuk ditelan
mentah-mentah namun perlu perenungan lebih lanjut dan kenikmatan serta
keindahan surga tidak bisa digambarkan atau dibayangkan oleh manusia.
Keempat, terror
bom yang mana pelaku dicuci otaknya dengan menjadi pengantin setelah meledakkan
bom merupakan dogma yang keliru digambarkan dalam judul “Ruang Tunggu”.
Bagaimana mendapat ganjaran ketika apa yang dilakukan dalam mengakhiri hidupnya
malah menyakiti banyak orang. Di sini pembaca diajak untuk membuka pikiran
secara logis terkait pelaku bom bunuh diri.
Kelima,
menjamurnya media sosial di seluruh lapisan masyarakat menimbulkan fenomena di
mana setiap kegiatan di posting di sana. Entah itu kebaikan atau bahkan
sebaliknya. Selain itu perbuatan-perbuatan yang menyimpang semakin
terang-terangan dan tanpa merasa bersalah karena dilakukan bersama-sama. Hal ini
menyebabkan malaikat ingin cuti karena merasa tugasnya dalam mencatat amal
sudah terwakilkan oleh sosial media. Namun bagaimanapun juga malaikat tidak
bisa cuti, tugas mereka hanya mencatat. Itu saja.
Itulah
beberapa hal diulik dalam kumpulan cerpen “Bukan Perawan Maria”. Pastinya masih
banyak cerita menarik dan menggelitik di dalamnya. Lebih lengkapnya silakan kalian
baca sendiri buku terbitan Bentang Pustaka ini.
Post a Comment for "Mengulas Fenomena Keagamaan di Era Sekarang - Bukan Perawan Maria"
Post a Comment