Dul Kemplu Outdoor #18 Ngomong Dong!
Ajis
kembali dengan wajah yang ditekuk sepagi itu, yang mana matahari belum berhasil
merangkak di langit yang berwarna biru muda. Wajahnya tidak secerah pagi itu
seperti saat ia meninggalkan pesantren. Ia meletakkan motornya dan meninggalkan
begitu saja. Aish… belum ada satu menit, hanya 6 langkah dari motornya ia
memutar balik arah sandal karetnya.
‘Sret!’
kunci motor itu ditarik paksa olehnya, tanpa memandang lubang itu sama sekali
sebab sudah hapal betul posisi kunci pada motor itu.
Ia tidak
langsung ke kamarnya melainkan membelokkan kakinya ke kiri, warung langganannya
itu yang ada di kepalanya. Ransel kecilnya dijatuhkan pada kursi plastik kuning
dengan kasar hingga benturan sepatu di dalam tas dan kursi plastik tak dapat
dielakkan, ‘Brukk!’
Ia
menyusul ranselnya, dijatuhkan tulang duduknya di bangku sebelah yang kosong.
Lalu mencomot sebungkus kacang asin dan disebarnya tepat di meja yang berada
persis di depannya. ‘Srakk!’
Ia
mengupas kacang itu satu per satu dan memindahkannya ke mulutnya. Diopernya di
gigi-gigi tajamnya lalu dilimpahkan ke lambung. Lagi dan lagi hingga sebaran
kacang itu menyisakan kulitnya saja. Apa itu yang dimaksud kacang lupa kulitnya
ya? Soalnya kacangnya masuk ke mulut ngelupain kulitnya yang dibiarkan
berceceran di meja? Ah sudahlah! Ngga begitu penting buat dipikirin sekarang.
“Mak,
tumbas kopi setunggal, less sugar nggih,” ucap Ajis pada penjaga warung
itu.
“Apa?!
Less sugar? Apa maning kue? Nyong ora ngerti!” sahut penjaga warung itu.
“Gulane
ampun kathahen, Mak, setengah sendok mawon, Mak!” jawab Ajis.
“Tumben,
biasane njaluk ditambahi. Galau apa ngasi njaluk sing pait?” tanya penjaga
yang kerap disapa Mak, Mamake.
“Pengin
mawon, Mak!” jawabnya, ia membiarkan Mamake untuk menyeduhkan kopi
untuknya.
Sembari
menunggu kopinya itu, ia merogoh saku jaketnya dan mendapatkan handphone
di sana. Ia menekan tombol on. Automatis wajah tersenyumnya
memenuhi layar. Ia menarik layar itu ke bawah dan membuka notifikasi dan
membalas pesan dari salah satu grup.
‘Ya
uwis ora papa, nyong wis nang pondok maning! Ngesuk maning bae.’ Ia segera
menekan tombol kirim tanpa disertai emoticon apapun lalu melemparnya pelan ke
meja.
“Prak!”
handphone-nya terbentur meja kayu.
“Weh…
weh… sante brodie…. Aja dibalang-balangna. Ngeneh nggo nyong bae kena, tak dol
nggo tuku mie ayam olih akeh,” ujar remaja di depannya.
Mendongak
menatap remaja di depannya itu, memastikan siapa dia, ternyata teman karibnya,
Dul.
“Hah!
Didol?!” bentaknya.
“Weh…
sante brodie…..” ujarnya sambil menggerakkan tangannya ke bawah, isyarat
untuk tenang dan menurunkan emosi, “Eh… deneng koe wis nang kene maning si?
Jere arep badmintonan?” keningnya dikerutkan.
“Alah…
badminton apa lah! Bacot tok lah!” akhirnya ia bisa meluapkan emosinya, Dul
menjadi sasarannya.
“Weh…
deneng nyong disemprot si?” Dul tak terima.
“Lah,
jere arep badminton esuk, le ngomong nang grup tah kaya iya iya ha, semangate
poll. Tapi ora tekan sijia blas. Esih turu kabeh!” ucapnya menggebu.
“Lah
bisane? Apa ora ngomong nang grup disit?” tanya Dul.
“Uwis
mau bengi wis takon, jere iya. Wis nge-read kabeh juga. Ujarku ya aman ya, eh
jebul ana bocah siji sing gawe kesimpulan karena ora pada respon. Dadi sing
liyane ayem ndarani ora sida. Lah nyong ora ngerti bab kue dadi mangkat bae. Sedurunge
mangkat juga wis tek telepon grup tapi ora ana sing ngangkat, ya husnudzone
nyong anu lagi nang dalan dadi ora pada ngangkat!” masih menggebu.
“Kie,
Jis, kopine,” ucap Mamake sembari meletakkan secangkir kopi di hadapannya.
“Suwun,
Mak,” ucapnya lirih.
Belum
dicoba oleh Ajis, Dul main serobot aja meminum kopi Ajis.
“Bzzzzzttttt…..
deneng ora legi si? Asem! Bzzttt..” Dul menemprotkan kopi yang ada di
mulutnya.
“Salahe
sapa ora takon disit? Ora nembung pula!” elak Ajis.
“Iya,
ngapurane. Tumben banget koe njaluk sing pait,” ujar Dul.
“Suka
suka gua dong!” balas Ajis.
“Eh…
terus miki koe nang kana kepriwe?” Dul mengalihkan pembicaraan.
“Ya
tek enteni lah… tek telepon kabeh bocah lima mau, blas ora ana sing ngangkat!”
jawabnya masih dengan nada kesal yang tak bisa disembunyikan.
Ajis
memarkirkan motornya di luar. Kakinya diarahkan ke utara, tempat ia dan
temannya bertemu, lapangan badminton. Sesampainya di gedung bercat biru muda
dan putih, ia menyapu pandangannya, menyipitkan matanya. Ia tak mendapatkan
satupun temannya. Ia memilih duduk di atas beton yang membatasi pohon mangga.
Ia merogoh handphone-nya, mengecek notifikasi, barangkali ada kabar dari
lima temannya itu. Tak ada notifikasi dari mereka, baik pribadi ataupun grup.
Ia menutup ponselnya. Berusaha tidak suudzon pada mereka. Ia melihat
orang-orang berseliweran. Lima belas menit telah berlalu, kepalanya mulai
pusing melihat orang berlalu lalang di sekitarnya. Otaknya berkata jika
seharusnya mereka telah sampai. Ia memutuskan untuk menghubungi temennya itu.
Ia menelepon temannya satu per satu. Tidak ada yang aktif.
“Nang
ngapa si? Deneng pada off kabeh!” ia gusar, bangkit dari duduknya.
Sepuluh
menit sudah ia mencoba menghubungi mereka. Ia memutuskan untuk menyudahi dan
keluar dari area itu. Ia masih mau menunggu tapi dengan mengisi perut yang
sudah demo. Ia mengarahkan kakinya pada tukang opor ayam. Ia memesan satu porsi
serta satu gelas teh panas.
Tak butuh
waktu lama untuk menandaskannya. Ia segera membayar dan meninggalkan penjual
itu. Ia mengecek kembali ponselnya, barangkali temannya sudah mengabarinya.
Namun nihil. Ia memutuskan ke parkiran dan mengarahkan stir untuk kembali ke
pondok saja.
“Cara
koe kepriwe, Dul? Sing salah sapa?” tanya Ajis.
“Nek
ndeleng ceritane koe ya koe ora salah si, jenenge wong ya butuh komunikasi. Anu
miss komunikasi si. Si bocah mau ora ngomong angger dicancel. Sedangkan koe ora
ngerti dan ora ana sing ngabari koe bahwa latihane dicancel,” tutur Dul.
“Nah!”
Ajis memukul kursi sebelahnya.
“Ya
nek cara nyong maning ya, kabeh hal kue ya kudu dikomunikasikan, hal sekecil
apapun kue, butuh komunikasi. Sebab dewek ora bisa ngerti isi atine atau
pikirane wong liya, kudu diomongna dong. Sing selagine diomongna be kadang ana
sing ora paham, kan?” sambung Dul.
“Iya,
makane kue nyong rada mangkel. Nyong maune arep dolan nang nggone mbahe, tek
belani nggo latihan malah pada dicancel. Ya dadine ora ulih ngendi-ngendi,
latihan ora nggone mbahe juga ora!” masih dengan nada ketus.
“Ya
uwis si… wis madang durung? Madang bae mending bar kue gari turu!” perintah
Dul.
“Iya,
lah! Madang maning bae!” ia menerima saran Dul.
“Mak,
nasi goreng setunggal, kecape dikathahi!” teriak Ajis.
“Siap….”
sahut Mamake dari dalam.
Ajis
sebenarnya tidak marah atau apa, hanya kecewa saja dengan perilaku temannya
itu. Bagaimana tidak, ia sudah meluangkan waktu malah yang lain seenaknya
sendiri. Pola pikirnya mengatakan itu tidak benar dan keliru, di mana apa yang
dilakukan selalu melibatkan orang di sekitarnya sehingga harus dikomunikasikan,
sekecil apapun. Namun, temannya tidak melakukan hal itu. Bagaimanapun juga
setiap orang pasti memiliki kegiatan sendiri yang tidak bisa disamakan dan
tidak tau bagaimana cara memanajemennya sehingga bisa bertemu dengan kita.
“Kie,
Jis!” Mamake meletakkan sepiring nasi goreng di hadapannya.
“Suwun,
Mak! Dicatet riyin Mak, mengkin sonten kulo bayar,” ucapnya lembut.
“Dul,
arep ora?” tawarnya.
Dul
menggeleng sambil menyesap kopi Ajis yang telah dingin.
Post a Comment for "Dul Kemplu Outdoor #18 Ngomong Dong!"
Post a Comment