Mengaji Tidak Untuk Mencari Pintar, Lantas Apa Yang Dicari? ~KH. Ma'ruf Salim
Pondok pesantren
kini tengah mengalami peminat yang cukup bagus. Berbagai jenis pondok pesantren
bertebaran di mana-mana baik baru atau sudah lama. Hal ini diharapkan dapat
menambah tersebarnya ilmu ke berbagai penjuru dan memperbaiki kualitas keilmuan
di Indonesia tentunya. Namun, tidak berhenti di sana. Mencari pondok pesantren
untuk dijadikan sumber belajar harus memperhatikan sanad keilmuan dari pondok
tersebut. Hal ini dilakukan untuk mencapai sanad ke Nabi Muhammad SAW. Karena sekarang
banyak pondok yang sanadnya dipertanyakan.
Ketika datang
ke pondok, dengan niat mengaji niatkan mencari ridha guru jangan langsung ingin
pintar. Sebab apa? Sebab pintar itu tidak wajib dan yang wajib itu mengaji,
mencari ilmu. Pintar itu urusan nomer sekian, belakangan. Yang perlu
diperhatikan adalah ridha sang guru yang dapat menentukan jalan setelahnya. Ridha
guru akan menentukan keberhasilan seorang santri.
Sugesti keberhasilan
seorang santri tidak ditentukan oleh pintar, kuatnya hafalan, atau cerdas. Lagi-lagi
ridha dan berkah guru yang menentukan. Mau apa tanpa ridha guru? Mau apa tanpa
berkah guru? Dengan ridha dan berkahnya itulah yang akan menentukan
langkah-langkah santri setelahnya. Secerdas apapun jika guru tidak ridha tidak
akan berhasil. Sebaliknya, lantaran guru ridha sesuatu yang terlihat tidak
mungkin akan menjadi mungkin dan terjadi. Berkat ridha guru.
Seperti diceritakan oleh beliau, KH Ma’ruf Salim, ada seorang santri yang mondok selama 7 tahun. Namun dia berbeda dengan santri yang lain. Jika mayoritas mondok 7 tahun sudah pintar beberapa atau banyak hal, namun dia untuk membaca surat al-fatihah saja belum bisa. Betapa malangnya dia bukan? Hal ini membuat Yai memanggilnya dan memintanya pulang saja. Namun santri tersebut tidak mau pulang dan akan melakukan apa saja yang diperintahkan Yai asalkan dia masih diijinkan di pondok itu. Yai tidak menolak. Beliau menyuruh santri tersebut membakar biji nangka sebanyak 16 setiap harinya. Dan setiap hari dia harus lapor pada Yai. Hari pertama dia berkata, “Biji nangka 16 gosong 8 sisa 8”. Hal itu tidak berubah selama dua tahun. Setelah dua tahun, orang tuanya dipanggil dan santri tersebut disuruh pulang saja. Dengan berat hati santri tersebut menuruti perintah Yai. Namun sebelumnya santri itu setengah tidak mau, namun setelah diyakinkan jika Yai ridha agar santri tersebut pulang, ia pun pulang. Betapa sedihnya santri dan orang tuanya, setelah 9 tahun mondok tidak membawa hasil apa-apa.
Tiba suatu
hari, sang ayah sakit dan ia diminta untuk berangkat tahlilan menggantikan
ayahnya. Ia menurut dan tak disangka ayahnyalah yang memimpin tahlil. Ia pun
harus menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin. Cemas, khawatir tidak bisa
ia terus meninta bantuan pada Yai dengan mengirim fatihah. Tak disangka ia bisa
memimpin tahlil pada umumnya.
Cerita di
atas menjadi gambaran bagaimana ridha guru beraksi. Semua di luar prasangka
kita bukan?
Namun, di
samping mencari ridha guru, belajar juga tidak boleh ketinggalan. Sebab belajar
menjadi salah satu wasilah datangnya ilmu. Jangan sombong. Belajar merupakan
salah satu sikap rendah hati kita, dengan itu kita mengaku bahwa kita masih
butuh ilmu dan merasa masih bodoh. Namun ketika berhenti belajar, itu menunjukkan
kesombongan, berhentinya belajar menjadi tanda bahwa kita tidak butuh lagi akan
ilmu. Di saat itulah sebenarnya kita menjadi orang bodoh.
Tak kalah
pentingnya satu hal ini dalam mencari ilmu. Ketenangan hati. Mencari ilmu di
pondok harus dengan hati yang tenang. Nyaman dulu baru bisa belajar. Maka apapun
yang ada di pondok terimalah. Buat suasana senyaman mungkin dan setenang
mungkin meskipun banyak hal yang sebenarnya dikhawatirkan. Dibikin santai aja. Santuy.
Ikhlas juga tak kalah penting dalam mencari ilmu. Ikhlas itu apa si? Al-ikhlasu laisal kalam fiih. Ikhlas adalah tanpa ada kata yang bisa menjelaskan ikhlas tersebut. mencari ridha guru harus dengan ikhlas. Ikhlas dengan apapun yang terjadi dan tidak banyak mengeluhkan. Menerima apapun yang diberikan, sebaik dan sepahit apapun.
Lalu ilmu
itu yang seperti apa si? Ilmu adalah bukan apa yang dihafal namun apa yang
bermanfaat. Apa yang dihafal namun tidak bermanfaat, tidak disebarkan itu
percuma. Hal tersebut akan hilang tatkala kemampuan otak kita menurun. Hilang tanpa
arti. Hilang tanpa bekas. Namun ketika ilmu itu bermanfaat, disebarkan, ilmu
tersebut tidak akan hilang meskipun kemampuan otak kita telah menurun untuk
menghafal.
Jadi ketika
memiliki ilmu sedikit sekalipun kalau bisa ditularkan. Santri jangan sampai
menyembunyikan ilmu. Sekarang atau nanti. Sebarkan apa yang bisa disebarkan. Sesederhana
apapun.
Dan kembali
lagi ke ridha guru, jangan berani pulang sebelum guru ridha kita untuk pulang. Karena
saperti yang sudah disampaikan sebelumnya, ridha guru menentukan
langkah-langkah kita setelahnya. Tunggu guru kita ridha untuk kita pamit
pulang.
Disampaikan
oleh KH Ma’ruf Salim pada 22 Mei 2022
Post a Comment for "Mengaji Tidak Untuk Mencari Pintar, Lantas Apa Yang Dicari? ~KH. Ma'ruf Salim"
Post a Comment