Dul Kemplu Outdoor#17 Boleh Males, Kok!
Malam
telah terlalu larut untuk dicandakan. Malam telah terlalu larut untuk
geliat-geliat makhluk. Malam telah terlalu larut untuk dijadikan teman overthinking.
Malam telah terlalu larut untuk pagi yang menanti. Namun malam tak pernah
menolak untuk menemani makhluk bernama manusia itu. Malam tak pernah menjadi
membosankan untuk mengali dan menguji analisis. Malam setabah itu dijadikan
pelampiasan segala rasa pada siang hari. Malam mengolah karsa tuk diperbaiki di
pagi nanti.
Bertemankan
secangkir kopi yang tersisa satu perempat, Ajis, duduk menghadap ruang kosong
di samping pondoknya. Rambut kepalanya dibiarkan tertiup angin malam, menjadi
mainannya. Namun, tak kuasa menggerakkan sehelaipun. Dayanya sedang dipulihkan
kembali untuk menyapa tiap makhluk di esok pagi. Bagaimanapun kondisinya, ia
akan selalu menyapa kembali makhluk bumi.
Pengabdiannyalah yang menjadikan ia selalu mengulang dan mengulang. Menemani
makhluk bernama manusia yang tak sadar kian melupakan tanah.
Diam.
Hanya diam. Masih diam. Memperhatikan apa yang ada di depannya yang juga diam.
Diam. Ia meredam emosinya dengan diam. Sendiri. Membiarkan rokoknya dihabiskan
angin malam.
Ada yang
berkecamuk di kepalanya. Argumen-argumen selalu berdesakan untuk diperhatikan.
Solusi-solusi maju serentak mengacaukan. Kepalanya hanya satu. Namun segala
macam berkumpul di sana. Panas sekali. Matanya dipejamkan untuk mengurangi
desakan-desakan itu. Ia ingin tidur, namun otaknya selalu mengirimkan impuls dan
matanya merespon untuk tetap terjaga. Ia menyandarkan kepala pada tiang yang
persis di sampingnya.
Memorinya
kembali pada beberapa hari yang lalu. Ia sebenarnya tidak ingin seperti
kemarin. Ia yang lebih sering diam, mengamati gerak gerik santri lain, harus
turun tangan. Iya. Keadaan pesantren sedang tidak kondusif. Beberapa hal disepelekan.
Seolah di pesantren tidak ada yang mengatur dan kebebasan diartikan bebas,
sekehendak sendiri. Tanpa memperhatikan dan memperhitungkan pengasuh, apalagi
pengurus.
Ajis,
yang notabane-nya pengurus, andil dalam hal ini. Yang biasanya hanya mengamati
dan memperhitungkan langkah-langkah yang hendak diambil, kini ia harus maju.
Iya. Sebab pengurus lain sudah muak dengan keadaan pesantren yang begitulah.
Ajis didorong oleh banyak pihak untuk buka suara. Karena bukan rahasia umum
lagi jika ia serius, lalat di depannya pun bisa kena.
Malam
itu, seluruh santri dikumpulkan di masjid. Selepas jamaah tidak ada yang boleh
beranjak dari bekas simpuhannya. Adapun yang memang sedang tidak berjamaah
dengan seribu alasan yang sudah tidak lagi bisa dipercaya, digiring masuk. Ajis
masih duduk di belakang. Mengobrol dengan teman di sampingnya diselingi tawa.
Setelah
semua berkumpul, pihak terkait hal itu membuka dan menjelaskan alasan
dikumpulkannya mereka di sana. Tanpa mengulur waktu lagi, ia dipersilakan untuk
menyampaikan beberapa hal yang menjadikan pesantren tidak kondusif. Langkahnya
cepat. Rautnya sudah berudah semenjak ia menjejakkan kaki tuk melangkah maju.
Cukup singkat
penyampaiannya malam itu, ia tak ingin basa basi yang menjadikan inti
pembicaraannya hilang dan fokus pada hal lain.
“Apa sing
gawe kowe kabeh pada kaya kie? Apa alasane kowe pada ora nglakoni kewajiban
nang pondok sebagai santri. Sebagaimana sing wis sering dibolan-baleni nang
pengurus, sampe Abah karo Ibu Nyai kudu turun tangan ngomongi kowe pada? Nyong
karo kowe ya pada bae. Apa sing digolet nang kowe pada ya digolet juga nang
nyong. Nyong karo kowe ora usah mawi kakehen nuntut hak nek kok sampe kewajibane
nyong kowe pada urung dilaksanakan. Bukan apa-apa, bukan karena nyong arep
keminter atau apa. Ayuh pada sadar bareng-bareng, tuntasna kewajiban disit aja
kakehehen nuntut hak. Kurang pantes rasane nek koh kaya kuwe. Aja sekarepe
dewek, tolong. Kesel ya kesel. Nyong kesel, kowe kesel, kabeh kesel. Kabeh
sibuk. Tapi sing bisa mbagi waktu. Saling menghormati. Nek kesel ya istirahat.
Istirahat nang wayahe istirahat. Nek ora cocok arep males, lagi kerasa males,
monggo dituntaskan disit malese. Sing eling wayah tur aja ngajaki males maring
kancane. Wayahe nyong males, wayahe kowe pada males kuwe beda-beda. Aja ngajaki
sing lagi sregep koh kon males. Wis dirampungi anggone ngompori. Ora perlu dadi
ures-urese sing liyan. Tiap bocah, tiap individu bae duwe ures-ures dewek, ora
perlu kok pada nambahi!” ucapnya lantang.
Semua
santri terdiam. Entah sedang mencibir atau memang mendengarkan.
“Intine,
nek kowe pada lagi males, meneng bae. Ora perlu ngajak batir. Malese
dirampungna syukur pisan bisa menyingkirkan males kuwe ben ora nganggu kowe
pada nang kene. Males nanging esih ngerti batasane. Juga eling karo kewajibane
nyong kowe pada nang pondok. Aja nyepelekna nek ora gelem diselekna. Insya
Allah nek nyong kowe kabeh pada manut ya bakal ora kaboten anggone ngepenakna,”
sambungnya.
Tak lama
ia kembali lagi ke barisan belakang. Hening menyelimuti masjid beberapa saat
setelah Ajis mundur.
Pihak
terkait menambahkan sedikit dan tak lama membubarkan santri. Ajis sebenarnya
geram dengan beberapa temannya yang berbuat seperti itu. Sudah berkali-kali ia
memperhatikan dan tetap saja terulang. Lagi dan lagi. Dan yang menjadi sasaran
adalah Dul. Teman karibnya yang sedang ia usahakan untuk menjadi lebih baik.
Namun, serta merta digoyahkan oleh beberapa santri yang memang kontra dengan
beberapa aturan dan rutinan.
Kepalanya
ia benturkan pada tiang itu. Ia tak ingin kembali pada saat itu. Memorinya
selalu mengarah ke sana. Ia berusaha menenangkan momorinya. Menghentikan dan
menetapkan di masa itu tanpa memutar memori sekelebatpun.
“Au….”
dielusnya kepalanya pelan.
Ia
menggeser kursinya dengan kasar. Merapikan rambutnya dan mengenakan kembali
pecinya itu. Disesapnya rokok yang tak lagi menyala. Kesal. Ia melemparkan
puntung rokoknya dengan keras. Ia membuka bungkus rokoknya. Kosong.
“Brengsek!”
ia meremas bungkus itu dan melemparnya asal.
“Prak!”
bulatan itu mengenai benda di depannya.
Ia
merogoh sakunya. Memastikan ada uang terselip di sana. Biru. Ia bangkit dan
meninggalkan kursi sialan itu.
Post a Comment for "Dul Kemplu Outdoor#17 Boleh Males, Kok!"
Post a Comment