Ideologi Keber-agama-an Menguat dan Melemah Saat Disrupsi
sumber: koran-jakarta.com |
Allah
memberi tahu kepada kita bahwa kita hidup harus dengan pengetahuan.
Allah
memberitahukan kepada kita jika ingin mengenalnya maka dengan pengetahuan.
Allah
mengisyaratkan betapa pentingnya pengetahuan itu. Pengetahuan salah satu yang menyempurnakan
kesempurnaan manusia.
Apakah
merasa tenang?
Apakah
merasa damai?
Bagaimana
relijiusitas saat ini?
Itulah
beberapa pertanyaan yang perlu kita tanyakan kepada diri kita sendiri di era
sekarang.
Menurut Data Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII) menunjukkan pengguna internet di Indonesia tahun
2021 mencapai 202,6 juta orang atau setara 73,7 persen populasi (274,9 juta
jiwa). Bahkan, jumlah perangkat mobile sudah melampaui populasi. yaitu 345,3
juta jiwa (125,6 persen). Sangat banyak bukan, bayangkan jika seperempat saja termakan oleh
ideologi ekstrim karena kurangnya kita dalam mengkampanyekan moderasi beragama,
pasti akan kacau kehidupan di negara ini.
Di
era disrupsi di mana seolah pengetahuan, informasi, dan berbagai hal sangat
gampang diperoleh, namun harus kita ingat jangan sampai kemudahan tersebut
melenakan kita, menciptakan manusia yang cepat menyimpulkan, seolah kita sudah
mengetahui dan paham atas semua hal. Kita harus berpikir kritis.
Renald Kasali (2017) menuliskan di dalam
bukunya “Kita menghadapi sebuah era baru-era disruption. Era ini membutuhkan disruptive
regulation, disruptive culture, disruptive mindset, dan disruptive
marketing.” Nah iya, Disruptive mindset, yang kita butuhkan, kita harus
memasifkannya untuk menjaga moderasi dan memperkokoh moderasi, agar sulit
dirobohkan oleh ideologi ekstrim yang memenfaatkan disrupsi saat ini.
Yang
nantinya menciptakan peradaban yang
lebih damai, penuh dengan kasih sayang, serta penuh dengan keadilan. Itu semua
akan terjadi dengan Moderasi beragama yang nantinya akan menjadi khusnul
khuluk. Syeh Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id Al-Qosim di dalam kitabnya Mau’idhotul
Mu’minin yang merupakan ringkasan dari kitab Ikhya ‘Ulumuddin menyebutkan bahwa
Anna Ulfata Tsamrotul Khusnil Khuluk Wa-ttafaroqo Tsamrotu suil khuluk.
Sesungguhnya
kasih sayang adalah buahnya ahlak yang baik dan perpecahan adalah buahnya
akhlak yang baik.
Sangat
ringkas namun padat apa yang diungkapkan syeh muhammad jamaludin. Jikalau kita
dapat hidup di dunia nyata dan dunia maya yang saat ini terjadi disrupsi dengan
akhlak yang baik. Insya allah kita akan hidup dengan penuh senyum.
Islam
sebenarnya sudah khatam dengan prinsip moderat atau bisa kita katakan dengan
tawasut, hanya saja disebabkan watak alamiyah manusia yang sangat angkuh,
menjadikan beberapa kaum muslim mencemari kedamaian yang dibawa islam. Yang
tidak beres itu manusianya bukan agamanya, bukti nyata Allah sendiri berfirman
memberitahukan kepada kita
وَكَذٰلِكَ
جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ
وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ
Artinya: Dan demikian pula Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.
Tawasut
atau moderat bukan berarti secara harfiah di tengah-tengah semata, seperti
setengah-setengah dalam melakukan dosa dan setengah-setengah dalam beribadah. Namun
berperilaku moderat berarti dapat memilih yang lebih baik, dan tepat.
Disrupsi
yang terjadi saat ini di berbagai sektor sangat mempengaruhi hidup kita semua, terutama
dalam beragama. Andaikata disrupsi berdampak baik untuk beragama maka kita akan
merasa khusus’ dalam beragama, namun belum untuk saat ini, kita masih belum
bisa menjadi insan yang moderat, khusnul khuluk. Kita masih mudah terprovokasi
serta merasa benar sendiri.
Padahal jati diri bangsa Indonesia adalah
beragama, dari sisi budaya, adat istiadat maupun keyakinan. Para leluhur orang
Indonesia pernah mayoritas beragama Budha selama 600 tahun. Kemudian selama 400
tahun memeluk agama Hindu dan saat
ini Islam menjadi agama mayoritas. Oleh sebab itu sangat penting Prinsip
Moderasi Beragama untuk menjaga Akidah dan Bangsa Negara ini. Salah satu
pondasi negara ini adalah beragama.
Banyak
hal yang mengahambat kekhusuan beragama kita di era ini, paling banyak dalam
bidang media, bukan hanya menghambat namun juga menumbuhkan ideologi-ideologi
ekstrim dalam beragama seperti :
-
Budaya pengkutipan. Kita semua sudah terbiasa
dengan bahasa tersebut sebab kita sering melakukan dalam pendidikan kita, apakah
ini buruk? Saya katakan iya, sebab keangkuhan orang sekarang yang sangat
gampang seolah menjadi orang pintar namun mereka tak paham konteks kutipan
tersebut, ini terjadi karena rendahnya budaya membaca kita, kurangnya literatur
kita. Bahayanya lagi memposting sebuah kutipan dan caption-nya berupa opini, kritik, saran atau malah
cacian, jahilnya caption yang mereka tulis jauh dari konteks kutipan
tersebut. Di sini ada yang seperti itu? Kalo ada woy udahya jangan malu-maluin.
Islam sudah mengantisipasi hal demikian, Allah yang maha segalanya menyuruh
kita untuk iqro. Iqro, iqro, dengar ya semua iqro.
-
Kesalahpahaman terhadap makna toleransi. Toleransi itu berbeda dengan
plural dan bukan berarti toleransi itu menyamakan seluruh agama. Jadi Toleransi
beragama itu menghargai hak-hak dari agama lain, dan juga menghargai dari
pendapat seseorang entah dari agama lain atau yang beragama sama, ambil contoh
problem tentang mengucapkan selamat natal. Kita tidak boleh memaksa seseorang
untuk mengucapkan selamat natal dan sebaliknya kita juga tidak boleh memaksa
seseorang untuk tidak mengucapkan selamat natal. Itu semua adalah hak individu
seseorang untuk mengucapkan atau tidak. Kita posisikan diri kita sesuai dengan
pendapat kita sendiri, jika kita berpendapat boleh mengucapkan selamat natal
bukan berarti yang melarang mengucapkan selamat natal itu salah. Allah SWT
telah mengingatkan kita di dalam firmannya Q.S Al-Mu’minun ayat 53 :
فَتَقَطَّعُوْٓا
اَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًاۗ كُلُّ حِزْبٍۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
53. Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agama)nya menjadi
beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang ada pada
mereka (masing-masing).
Maka dari itu janganlah kita saling menyalahkan atau mengkritik
dengan keji. Mari amalkan nahi munkar dengan khusnul khuluk.
Mari kita nikmati perbedaan dalam hidup ini, nabi muhammad saw telah
memprediksi melalui sabdanya
Fa innahu May-ya’is mingkum ba’di fasayaro ikhtilafan kasiron
Mereka yang hidup setelahku akan menjalani hidup dengan banyaknya
perbedaan.
Takut jangan namun berhati-hati, berhati-hatilah dengan
menggunakan pengetahuan jangan menggunakan prasangka semata.
-
Kurangnya Edutech
,di era disrupsi pada lembaga
pendidikan.
Dari semua elemen yang paling
berkewajiban menjaga perdamaian dan persatuan dalam hal ini menumbuhkan
moderasi beragama adalah lembaga pendidikan, mereka harus cepat tanggap
terhadap disrupsi saat ini sebab akar dari sebuah ideologi atau kepercayaan
adalah pola pikir. Lembaga pendidikan harus bisa membentuk pola pikir yang moderat
terhadap anak didiknya melalui pemasifan edutech, untuk menghindari dampak
negatif dari disrupsi.
-
Kurangnya Filterisasi.
Dalam bidang spiritual peradaban perlu adanya
filterisasi (penyaringan). Berfikirlah dengan jernih perdalam pengetahuan agar filter kita
dapat memfilter hingga jernih, untuk era sekarang kewajaran atau hal yang dianggap
umum tak berarti itu benar, dalam QS. Al-An’am ayat 116 Allah mengingatkan kita
وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ
سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا
يَخْرُصُوْنَ
116. Dan jika kamu mengikuti
kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat
kebohongan.
Insya allah dengan cara memperbaiki
kekurangan di berbagai sektor
pada era disrupsi ini, kita dapat membangun dengan kokoh moderasi beragama.
Post a Comment for "Ideologi Keber-agama-an Menguat dan Melemah Saat Disrupsi"
Post a Comment