Dul Kemplu Outdoor #10 Perbaikan Protein dengan Bangke?
Rasa malas mengelayuti sedari pagi. Matahari tak mau
terang-terangan muncul dari ufuk timur, semburatnya tak setegas biasanya. Udara
dingin menyerang pagi itu. Ayam jago yang biasanya cerewet pun bungkam, atau
sedang sariawan? Entahlah, pokoknya ngga
bunyi aja pagi itu. Dengan terpaksa Ajis mengerjapkan matanya terusik udara
dingin, sarungnya entah ke mana hanya tersisa celana pendek yang menempel di
badannya. Tangannya tangkas mengucek mata yang masih setengah melek. Setelah
dirasa cukup tangannya menjamah sekitarnya mencari keberadaan sarung dan diikat
sekenanya.
“Dul, tangi!” Ajis menggoyangkan badan Dul sekenanya, menggugurkan
kewajibannya.
Bukannya melek malah menarik sarungnya rapat-rapat. Ajis tak
memperdulikannya lagi dan segera menunaikan shalat shubuh.
Bruk! Pintu terdorong cukup keras, kebiasaan Ajis yang sering
mendorong pintu over entah karena kesandung lantai yang sedikit naik atau yang
lain. Sontak Dul terduduk kaget. Jangan bayangkan wajahnya, amburadul pokoknya.
Tanpa kata Ajis membenamkan wajahnya di bantak kumal yang katanya miliknya. Dul
bangkit tuk menunaikan shalat Shubuh.
***
“Dul! Dul!” beberapa orang memanggil dari luar kamar.
Tak hanya Dul yang mengerjap, Ajis pun begitu. Suara itu mengusik
agenda minggu Dul dan Ajis. Krek! Gagang pintu diputar dari luar. Cahaya terang
menyusul masuk kamar tersebut diikuti dua anak berperawakan kecil.
“Dul, dolan yuh!” ajak salah satunya.
“Dolan ngendi?” tanya Dul yang masih tiduran.
“Meng kali, koe durung adus mbok?” tanyanya.
“Dih, ya durung si, tapi nyong mager banget. Pengin turu banget,
mau bengi ora turu!” tolaknya halus.
“Leh, sedela koh…. Karo mancing sisan!” seru anak yang
lainnya sambil menunjukkan joran dengan tangan kiri.
Dul dilema, melanjutkan tidur atau ikut dengan mereka. Memancing
menjadi salah aktivitas yang cukup menarik baginya.
“Duh! Sulit,” keluh Dul, “Jis, yuh mancing!” ajaknya
pada kawannya.
“Lagi turu! Ora bisa diganggu!” sahut Ajis menutup wajahnya
dengan bantal, menolak ajakan Dul.
“Koe tah yah, nek nyong pengin ngajak koe mesti ora gelem.
Giliran koe sing ngajak nyong kudu gelem! Ya wis nganah koe turu bae! Yuh, Mal,
nyong tek ganti sedela,” ujar Dul lalu melempar kaos yang dikenakan
semalaman ke tubuh Ajis dan menyambar kaos lain di sampingnya.
“Leh, kaya kue be mutung, iya kie nyong melu wis,” ujar Ajis
yang merasa Dul jengkel padanya.
Dul bungkam sembari bersiap pergi. Setelah siap mereka menemui dua
anak yang mengajaknya tadi, Jamal dan Wawan. Rupanya kedua anak itu pun sudah
siap, keempatnya mengenakan topi. Tak menunggu lagi, mereka bergerak menuju
parkiran. Sungai yang akan mereka tuju tidak cukup jauh sebenarnya, sekitar 1,5
KM tapi motor tetap menjadi pilihan mereka entah karena males jalan atau
mengikuti trend milenial yang kemanapun jarang sekali jalan kaki. Walau
sebenarnya jalan kaki lebih membuat peka pada lingkungan tapi entahlah, mungkin
memang sudah tiba masanya dunia bergerak lebih cepat.
Tak butuh waktu lama, mereka sampai di sungai tujuan mereka. Ajis
melompat dari jok belakang setengah mendorong Dul. Dul dan Wawan memarkirkan
motor di semak-semak. Ajis dan Jamal telah berjalan terlebih dahulu, Dul dan
Wawan setengah berlari menyejajarkan mereka. Tak jauh mereka menuruni setapak,
sungai sudah tersaji di depan mata.
Tanpa komando Dul menyiapkan joran dan peralatan lainnya disusul
Wawan dan Jamal. Ajis yang notabene-nya tak begitu tertarik dengan memancing
turun ke sungai tak memperdulikan ketiga temannya.
Pluk! Kail Wawan tenggelam dalam sungai. Bagian ini bisa dikatakan
lubuk, sepertinya bagian cukup dalam dan tenang dan orang sekitar melarang
berenang di sini. Namun jangan ragukan ikan di sini, gurih.
Pluk! Kali ini Dul melemparkan kailnya disusul Jamal. Sembari
menunggu ikan yang nyangkut mereka ngobrol ngalor ngidul mengusir senyi.
“Weh! Weh! Nyong ulih!” seru Wawan ketika melihat
pelampungnya tersenggal-senggal. Dengan sigap dia memutar reel-nya dan ikan
muncul di permukaan.
“Wiuh….. gedhe men! Mantul!” seru Dul takjub dengan ikan
yang didapat Wawan.
“Embermu muat ora? Nek ora kie embere nyong gelem nampung,
hahaha,” canda Jamal.
“Dih…. Muat lah!” sahut Wawan.
Kesabaran yang kontinue pasti akan membuahkan hasil yang setimpal.
Pun mereka, kesabaran mereka menghasilkan ikan yang cukup banyak bisa untuk
tambahan protein sore nanti. Ikan yang berkecipak diember diikat menjadi satu.
“Wis oleh akeh durung?” tanya Ajis setengah teriak, sekujur
tubuhnya basah kuyup, rupanya habis berenang.
“Uwis kie,” jawab Wawan sembari mengankat ikan yang hampir 5
kg tersebut.
“Wuih…. Mantep, mangan enak tah mengko,” puji Ajis.
“Jelas dong, koe tuku bumbune ya, hahahaha….” seru Dul.
“Heu….” sahut Ajis setengah kesal.
“Eh… kae ana iwak kendang! Ndang dijukut!” teriak Ajis
sembari menunjuk lubuk.
Ketiganya terdiam. Melihat respon temannya yang hanya diam, Ajis
pun melompat ke dalam lubuk.
“Jis, ati-ati!” teriak Dul dari samping. Meskipun Ajis
pintar berenang namun ini di sungai dengan segala resiko dan bahaya yang
mengancam.
Tak lama Ajis kembali menenteng ikan kurang lebis seukuran
betisnya.
“Anakan hiu, hahaha…” tawa Ajis, “Nyong ora sida tuku
bumbu berarti lho ya, kie wis olih iwak,” sambungnya sambil mengangkat
tinggi-tinggi ikan gabus yang didapatnya.
“Hm….” gumam Dul seperti sedang berpikir.
Seolah mengerti mau antar mereka, kesemua beriringan bergerak naik
menuju motor mereka. Dul memecah keheningan di antara mereka.
“Jis, nyong wingi nek ora salah krungu, angger bangke ora kena
dipangan yah?” tanya Dul memastikan.
“Iya, bener,” jawab Ajis singkat tampak lelah tersirat dari
wajahnya.
“Tapi ngapa koe miki ngarah bangke iwak? Arep melu dimasak apa
nggo empan kucing?” tanya Dul lagi.
“Ya dimasak lah… eman-eman men nggo kucing, sing nggo kucing
buntute bae,” jawab Ajis.
“Tapi kan kue bangke? Ya ora olih, wong senajan pitik nek nembe
ditabrak motor ben kena dipangan be kudu dipateni disit pas lagi sekarat,
disembeleh. Koh dengan pede-nya koe ngarah bangke iwak nggo dimasak? Kepriwe
si, Jis, lah?” protes Dul.
“Kaya kie Dul,” ucap Ajis sambil mendekati Dul, “Bab
pitik mau bener, tapi sing iwak ana sing keliru setitik,” sambung Ajis.
“Keliru kepriwe?” tanya Dul keheranan.
“Dadi, nek bangke iwak kue kena dipangan, Dul. Halal. Dadi, dari
berbagai bangke emang haram dipangan, tapi ana pengecualian nggo bangke iwak
karo walang. Kewan loro kue nek wis dadi bangke tetep halal dipangan,”
terang Ajis.
“Iya apa?” tanyanya memastikan.
“Iya, mulane, Dul, nek maca dirampung, dadi info sing mlebu ora
setengah-setengah,” ujar Ajis setengah menggigil, bajunya belum juga kering.
“Hehehe…. Nyong jujur nek maca sedela be kesel mripate, langsung
ngantuk!” keluh Dul.
“Lah, kue tah koe, anu ora dibiasakna si…” kata Ajis, “Weh….
Wawan karo Jamal nang endi euy…” sambungnya menyadari kedua temannya tak ada
di sana.
“Eh… iya, nang sih, ya? Koe si ndadakan nggawe aku penasaran!”
keluh Dul.
“Sih! Wis ra sah dibahas maning. Yuh, munggah bae, mesti wis
pada ngenteni nang kana!” seru Ajis.
Keduanya segera bergerak naik dan menjumpai kedua temannya itu.
Post a Comment for "Dul Kemplu Outdoor #10 Perbaikan Protein dengan Bangke?"
Post a Comment