Dul Kemplu Outdoor #7 Tak Bisa Menahannya
Langit perlahan menghitam, entah duka atau apa yang tengah
dideritanya. Hawa dingin mengelus kulit insan. Lembut namun cukup menusuk.
Burung yang tengah menari beranjak meninggalkan panggungnya, bergegas menuju
sarang. Petani menggulung tenda yang berisi butir keemasan kebanggaan mereka.
Ibu berdaster tergopoh-gopoh menyahut pakaian yang sedang dijemur di depan
rumah. Hal ini membuat tukang parkir sedikit menarik garis bibirnya, setelah
setengah hari tersengat mentari. Meski sebentar lagi akan berjibaku dengan air,
penyelamat jiwa yang enggan menunjukkan tangisnya.
Dua bocah keluar dari pusat perbelanjaan dengan memandang langit
yang semakin tebal. Salah satunya menarik resleting jaketnya, rupanya udara
cukup menembus kulitnya. Lainnya menengadahkan tangan kanannya mengecek apakah
gerimis sudah beraksi.
“Durung udan, Jis.” Seru Dul.
“Ya wis yuh, mandan cepet. Mbok keburu udan.” Sahut Ajis
sembari berjalan menuju motor yang terparkir tak jauh dari mereka.
Setelah memberi ongkos pada tukang parkir, keduanya segera berlalu.
Tak berapa lama gerimis menyerang penduduk bumi. Satu dua
pengengendara motor menepi. Dua bocah itu pun ikut menepi di bawah pohon yang
cukup rindang, tepat di depan sebuah kedai kuliner. Keduanya turun dan netranya
menyapu sekitar.
“Jis, nggawa mantel ora?” Tanya Dul.
“Embuh lho.” Jawab Ajis dilanjutkan mengecek bagasi
motornya.
“Yah, ora nggawa, Dul.” Sambung Ajis.
“Kepriwe kie, Jis?” Tanya Dul sedikit cemas.
Ajis kembali mengedarkan pandangannya.
“Koe wis madhang durung?” Tanya Ajis.
“Durung lah…” jawab Dul.
“Karo ngenteni udan, mending madhang disit nang kana.” Ajak
Ajis sembari menunjuk kedai di seberang sana.
“Kuy bae lah. Nyong kencot koh.” Jawab Dul.
Keduanya membawa motor memasuki pekarangan kedai tersebut. Keduanya
baru pertama kalinya menginjakkan kaki di kedai tersebut. Dul memandang kedai
tersebut seperti ada yang tidak terungkap. Namun, berhubung Ajis yang
mengajaknya dia langsung saja menyetujuinya. Keduanya berlari kecil menaiki
kedai tersebut dan memesan makanan.
“Koe arep apa, Dul?” Tanya Ajis yang sedang memilih menu.
“Kie kena, Jis. Mie Setan.” Jawab Dul.
“Level pira?” Tanya Ajis lagi.
“Loro bae, Jis.” Jawab Dul.
Keduanya mencari tempat yang dirasa nyaman, di pojok belakang yang
memandang ke hamparan sawah yang masih hijau. Tak lama pesanan keduanya sampai
di depan mata. Keduanya langsung menyantapnya.
***
Langit masih menyisakan mendung, namun tangisannya sudah berakhir.
Kedua bocah mendorong sepeda motor memasuki pelataran pesantren. Setelah
memarkirkannya, keduanya lansung menuju kamarnya dan segera membuat sarang,
mengistirahatkan badan sejenak.
***
Mentari perlahan beringsut. Panggilan Tuhan menggema mengisi
langit. Dua bocah masih meringkuk di pojokan kamar. Mendengar suara adzan yang
tidak sampai 50 meter, Ajis terusik dan bangun. Dengan masih lemas Dul
dibangunkannya. Belum sempat Dul bangun sempurna, Ajis berlari ke belakang,
efek dari mie setan level 10 yang dimakannya tadi. Tak berapa lama, Ajis
kembali dan Dul masih meringkuk. Melihat hal tersebut, Ajis tak tinggal diam.
“Dul! Tangi! Wis sore!” seru Ajis sembari menggoyang kaki
Dul.
Dul dengan terpaksa bangun dan duduk bersandarkan dinding. Ajis
beranjak dan menggelar sajadahnya tuk menunaikan shalat Ashar. Tiap gerakan
dilakoni dengan penuh penghayatan.
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh ..” Ajis berada
di penghujung shalatnya.
“Dut!” bunyi sesuatu yang berasal dari Ajis.
“Jis! Koe ngentut?” Tanya Dul yang masih setengah sadar.
“Hehehehe…..” Ajis hanya nyengir kuda.
“Ih…. Kebangetan banget si..” Seru Dul.
“Ya men. Nyong mules koh, kayane merga mie mau kae lho..”
sahut Ajis.
“Lha wis ngerti ora kuat pedes ndadak njajal sing pedese ora
eling.” Semprot Dul.
“Ya nggo tau-tau.” Elak Ajis.
“Ya nganah koe wudhu maning, shalate dibaleni!” perintah
Dul.
“Lha… emoh temen. Nyong wis shalat miki.” Elak Ajis.
“Lha, miki ngentut si, durung rampung shalate. Nembe salam
sepisan.” Dul tak mau kalah.
“Ya ora kaya kue. Nyong wis rampung shalate.” Kata Ajis.
“Ya durung! Nembe sepisan, kudu ping loro!” seru Dul.
“Geh, ya ora kaya kue, Dul. Sing dadi rukune shalat mung salam
sing sepisan. Sing salam ke loro kue sunah.” Jelas Ajis.
“Heh! Apa iya?” Tanya Dul.
“Iya lah. Dadi aku ya sah-sah bae shalate, merga aku wis metu
seka shalat. Aku kur ninggalna sunah. Sedangkan ninggalna sunah kue ora perlu
mbaleni shalat.” Jelas Ajis lagi.
“Hm… wis lah karepmu bae, Jis. Nyong ora ngerti.” Dul
menyerah dan percaya kepada Ajis.
“Ya nek kurang yakin mengko takon karo Pak Adnan ben lewih
jelas. Mengko nek ora sah shalatku gampang diqadha.” Ajis mencoba
menghargai Dul.
“Nah, cakep.” Dul kembali sumringah.
“Ngomong-ngomong koe wis shalat durung?” Tanya Ajis.
“Durung hehe…” jawab Dul lalu berlari keluar kamar.
Ajis hanya bisa menggelangkan kepala melihat tingkah sahabatnya
tersebut.
Post a Comment for "Dul Kemplu Outdoor #7 Tak Bisa Menahannya "
Post a Comment