Catatan Akhir Ramadhan
Butiran air jatuh
membentuk garis lurus menghujum bumi. Menembus pepohonan menuju tanah yang
mulai mengering. Bau khasnya menyeruak masuk ke penciuman. Senja ini basah oleh
guyuran hujan. Semburat orange di ufuk barat tersapu awan putih yang menutup
seisi langit sore itu. Terasa lebih lama menanti magrib tiba jika hanya duduk termenung memperhatikan
garis lurus yang samar itu. Yang kerapatannya sama, menari di udara tanpa ada
yang berani mengganggu.
Emper tempat kami
tinggal tampak basah terkena cipratan muntahan awan di atas sana. Aku berjinjit
melaluinya menuju bangku di ujung sana, tempat favorit menikmati langit nan
tinggi dan luas tak terbatas. Kuletakkan bokongku di sana tanpa mengecek apakah
kursi itu basah atau tidak. Aku tak memperdulikannya. Bawahanku kubiarkan menjilat
lantai yang basah juga. Kuletakkan sebuah buku di meja, samping bangku itu. Aku
menatap keluar bangunan itu. Bersih, tak ada seekor burung pun menari di sore
itu. Tariannya tergantikan arsiran Tuhan itu.
Tabuhan beduk menggaung
dari masjid. Diikuti adzan yang menggema dari toa masjid itu. Suara yang paling
dinantikan di bulan ini. Aku beranjak dari kursi malas itu. Aku mengambil
segelas air tuk mengobati dahaga setelah seharian menahan. Tegukan demi tegukan
mengalir menuruni kerongkongan yang mengering. Segera kumenuruni tangga
melanjutkan kewajiban, absen pada Yang Mahakuasa.
Aku mengambil kitab
suci. Kepandang lekat-lekat penanda bacaanku. Tidak salah lagi. Masih tipis
untuk hari itu, yang sudah tanggal dua puluhan. Kitab itu kupegang di dada. Aku
duduk termenung meratapi bulan ini yang entah aku habiskan untuk apa. Rebahan,
rebahan, dan rebahan. Tubuhku terlalu dinyamankan oleh kondisi yang membuat lalai
pada tujuan awalku. Dulu kuawali dengan menggebu, perlahan padam dimakan waktu
yang merayu. Melayu seiring waktu yang berlalu, mengejar kebahagiaan semata nan
sangat sementara. Termakan buaian dunia yang sungguh menipu. Menggoyang hati
yang kian rapuh tersapu zaman yang seolah kejam pada kaum minoritas. Koaran
menggema di sudut-sudut kota, namun realita hanya sekedar formalitas demi
mengangkat golongan. Sungguh tipuan dunia yang menyeret diri tanpa ada rasa
sungkan. Benda pipih itu, yang sangat lengket dengan tanganku, menyeratku
menjauh dari tujuan awalku. Kini aku tersadar, namun ketertinggalan menyapa
dengan senang hati.
Target yang kutetapkan
masih jauh tertinggal. Aku mulai memutar otak tuk mengejarnya kembali. Berat.
Sungguh berat. Dua kali lipat harus diusahakan untuk mencapai target itu.
Kepalaku melunak, seolah menolak kenyataan yang telah aku ukir sendiri.
Aku menyudahi
perbincangan dengan otakku sendiri. Aku buka kitab itu dan kueja perlahan. Itu
lebih baik daripada sekedar mengatur ulang strategi yang entah bisa kulalui
atau tidak. Perlahan, huruf demi huruf terlontar dari mulut yang penuh dosa
ini. Tak berapa lama, aku sudahi dan kukembalikan di tempatnya. Aku meluruskan
punggungku sebentar sebelum melanjutkan panggilan Tuhan selanjutnya.
Tak sampai satu jam telah
usai. Kini tiba saatnya membaca bersama-sama. Pelantang telah disiapkan seperti
biasa. Semua tergiring memasuki ruang itu dan segera menempatkan diri. Membaca
membuat pandanganku kabur. Antara mengantuk atau iman yang lemah yang
menyelimutiku. Anggukkan kecil menyertaiku, menambah irama malam itu. Setelah
tadi merenungi ketertinggalanku, kini aku masih tetap memelihara kemalasan itu.
Aku masih terlalu lemah.
Maaf aku sampaikan pada
diri sendiri. Yang masih belum bisa bertahan dengan komitmen awal. Yang masih
mudah goyah sebab kebahagiaan yang sangat sementara. Yang masih memelihara
malas meski sudah diusir tetapi masih saja aku memberi ruang untuknya.
Maaf juga pada Tuhan,
yang sudah memberi kesempatan pada hamba-Mu ini yang bodoh tetapi masih belum
bisa memaksimalkan kesempatan itu. Yang masih melalaikan-Mu, meski peringatan-Mu
nyata di depan hamba. Yang masih sering mengabaikan panggilan-Mu.
Di sisa-sisa bulan ini,
kuatkan hatiku wahai Tuan, agar sesuatu yang lebih baik dapat kupetik. Buka
pintu hatiku untuk menerima kebaikan-kebaikan yang Kau suguhkan. Lembutkan hatiku
agar mudah menerima perintah-Mu. Lebarkan hatiku agar lebih menjaga dari
kemungkaran.
Jika boleh aku memohon,
pertemukanlah aku kembali dengan bulan yang istimewa ini, Tuhan. Jika Kau
tetapkan ini sebagai kesempatan terakhirku, buka pintu hatiku untuk memaksimalkan
penghambaanku di sisa bulan ini.
Terima kasih Tuhaan,
masih memberi kesempatan di tahun ini.
Post a Comment for "Catatan Akhir Ramadhan"
Post a Comment